Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Komite Turun Tangan, Sekolah Punya Modal Sosial : SDN Karduluk IV Hidupkan Tradisi Lewat Pembelajaran Unik


Pragaan – Karduluk sudah lama dikenal sebagai desa pengukir. Suara pahat yang mengetuk kayu bukan hal asing di telinga warganya. Kini, tradisi itu dibawa masuk ke ruang kelas SDN Karduluk IV, menjadi bagian resmi dari pembelajaran. Yang membuatnya semakin unik: pengajarnya bukan guru biasa, melainkan wali murid sekaligus pengurus Komite Pancasona.




Suasana kamis siang di halaman sekolah tampak berbeda. Puluhan siswa kelas atas duduk rapi dengan balok kayu kecil di hadapan mereka. Di tangan mungil itu, pahat dan palu diarahkan hati-hati, sementara seorang bapak berdiri memberi instruksi. Dialah H. Subaidi, pengrajin sekaligus anggota Komite Pancasona, yang kini juga berperan sebagai pendidik di sekolah anaknya.

SDN Karduluk IV tercatat sebagai satu-satunya sekolah dasar di Kabupaten Sumenep yang memiliki pelajaran mengukir. Langkah ini lahir dari kesadaran bahwa sekolah tidak boleh terlepas dari budaya setempat.

“Mengukir adalah identitas Karduluk. Kalau sekolah tidak ikut menjaga, siapa lagi yang akan meneruskan?” ujar Kepala Sekolah, Widayanti, penuh semangat.

Dalam setiap sesi, siswa tidak hanya belajar teknik memahat, tapi juga nilai kesabaran, ketelitian, hingga rasa cinta pada warisan leluhur.

Uniknya, guru mengukir bukan ASN atau tenaga kontrak, melainkan wali murid dan pengurus komite sekolah. Konsep ini berangkat dari prinsip asset based thinking—yaitu menggali kekuatan dan potensi yang sudah ada di sekitar sekolah.

“Kami tidak harus selalu menunggu guru dari luar. Di lingkungan kami ada banyak pengukir hebat. Maka kami ajak mereka mengajar. Sekolah tidak hanya jadi tempat belajar, tapi ruang bersama untuk menghidupkan tradisi,” jelas Ketua Komite Pancasona, Affan Riady.

Bagi wali murid, pengalaman ini menjadi kebanggaan tersendiri. Mereka tidak hanya menitipkan anak ke sekolah, tetapi juga ikut mewariskan keterampilan khas Karduluk secara langsung.


Di kelas, ekspresi siswa penuh antusias. Meski beberapa kali salah memukul pahat atau ukiran tidak rapi, mereka tak patah semangat.

“Awalnya sulit, kayunya keras. Tapi kalau sabar, bisa jadi bagus,” ucap Nazwa, siswa kelas 5, sambil menunjukkan ukiran bunga sederhana hasil tangannya.

Bagi anak-anak, kegiatan ini bukan sekadar keterampilan tambahan. Mengukir menjadi pengalaman belajar berbeda: ada seni, ketekunan, dan rasa bangga terhadap kampung halaman.

Pembelajaran mengukir di SDN Karduluk IV bukan hanya program kokurikuler. Ia adalah strategi pendidikan berbasis budaya lokal yang sekaligus memperkuat identitas desa pengukir.

Di tengah gempuran gadget dan game online, anak-anak Karduluk justru dikenalkan dengan “mainan” berbeda: kayu, pahat, dan seni rupa warisan nenek moyang.

“Sekolah ini membuktikan bahwa tradisi bisa berjalan seiring dengan pendidikan modern. Mengukir bukan pelajaran kuno, melainkan cara membangun masa depan anak-anak dengan akar budaya yang kokoh,” tutup Widayanti.

Dengan cara ini, SDN Karduluk IV bukan hanya mendidik siswa menjadi pintar membaca dan berhitung, tapi juga membentuk generasi yang tidak tercerabut dari tanah lahirnya.

Posting Komentar untuk " Komite Turun Tangan, Sekolah Punya Modal Sosial : SDN Karduluk IV Hidupkan Tradisi Lewat Pembelajaran Unik"